oleh

Harapan Alim Atas Kekecewaannya

Makasar >> Lagi-lagi, tersiar berita di layar televisi perihal seorang oknum hakim yang tertangkap tangan menerima suap, atas kasus korupsi yang sedang ia tangani. Tetapi oknum hakim tersebut tampak anteng saja melewati kerumunan wartawan, seperti tak menyesali perbuatannya. Padahal, sebagai harapan utama para pencari keadilan, sang hakim semestinya malu telah mengkhianati nuraninya sendiri.

Menyaksikan kejadian itu, Alim sontak terenyuh. Sebagai seorang dosen ilmu hukum di sebuah universitas negeri ternama, ia sungguh kecewa menyaksikan tingkah oknum penegak hukum yang tega menghancurkan hukum, dengan memperdagangkan perkara. Ia bahkan kehabisan akal untuk memahami watak oknum hakim yang rela menodai marwahnya demi sogokan materi.

Atas statusnya sebagai pendidik, ia pun merasa bertanggung jawab untuk melahirkan calon penegak hukum yang berintegritas. Karena itu, ia berupaya menanamkan nilai-nilai antikorupsi di dalam diri para mahasiswanya. Apalagi, sebagai pengampu mata kuliah hukum tindak pidana korupsi, ia memang punya kemampuan dan kesempatan yang memadai untuk melakukannya.

Sudah sekian lama ia berkehendak memberantas praktik rasuah. Ia mengambil jurusan hukum saat kuliah, sampai bergelar doktor, karena ia ingin berkontribusi baik dalam penegakan hukum di negeri ini. Pun, ia menjadi dosen dengan cita-cita besar itu. Ia merasa, dengan menjadi pendidik, ia bisa menciptakan sarjana yang andal dalam menegakkan hukum.

Jauh sebelum ia mengenal profesi dosen, watak jujurnya memang telah terbentuk atas didikan ibunya yang meninggal tiga bulan lalu. Saat ia masih kecil, ibunya senantiasa menceritakan kepadanya perihal ayahnya sebagai sosok hakim yang jujur, yang tak mempan disogok. Bahkan kata sang ibu, karena kejujurannya pula, sang ayah mati dibunuh dengan cara ditembak.

Tetapi miris, pelaku yang dihukum hanya sang penembak yang mengaku tak sengaja melepaskan peluru. Padahal, sang ibu yakin kalau pelaku intelektualnya adalah seorang koruptor yang tak ingin kejahatannya divonis berat oleh sang ayah. Meski demikian, sang ibu mengaku tak bisa apa-apa, sebab indikasinya, oknum penegak hukum telah diperdaya dengan uang.

“Nak, entah jadi apa pun kau kelak, tetaplah bersikap jujur seperti almarhum ayahmu. Di masa ketika ia hendak melanjutkan kuliah di jurusan hukum. Apa pun yang terjadi, jangan berbuat zalim karena godaan materi. Tegakkanlah keadilan, meskipun harus mengorbankan nyawa. Lebih baik mati dalam kehormatan, ketimbang hidup dalam kehinaan.” ujarnya.

Dengan kesepahaman penuh, Alim lantas mengangguk tegas.

“Tentu, Bu. Ayah akan selalu jadi panutanku,” tandasnya.

Sang ibu pun tersenyum tenteram. Akhirnya, dengan tekad mulia itu, Alim jadi sosok pendidik yang menjunjung nilai kejujuran. Ia berhasil menjadi dosen dengan gelar doktor, setelah memenuhi tanggung jawab akademiknya, sehingga ia menuntut mahasiswanya demikian. Ia menyelesaikan skripsi, tesis, dan disertasi dengan ketekunannya sendiri, sehingga ia tak menoleransi aksi penjiplakan atau perjokian karya.

Dengan integritasnya pula, Alim membaktikan diri sebagai akademisi. Ia serius menjaga keilmiahan produk intelektual hukum, demi menghasilkan karya yang bermanfaat bagi penegakan hukum. Karena itu, ia jadi dosen yang berbeda. Ia tak suka acara seremonial kampus yang menguras waktu dan anggaran hanya untuk berbalas pujian atas pencapaian nonakademis.

Lebih dari itu, ia bukanlah dosen yang berambisi memperoleh jabatan di dalam maupun di luar kampus. Ia tak ingin melalaikan atau sekadar menganaktirikan tugasnya sebagai pendidik, peneliti, dan pengabdi masyarakat. Ia ingin fokus menghasilkan lulusan yang unggul dan karya yang bermutu, serta memberikan bantuan kepada rakyat kecil yang terjerat persoalan hukum.

Karena prinsipnya, ia pun berhasil memenuhi kewajibannya sebagai dosen. Ia menulis buku dan artikel di jurnal ilmiah dengan ketekunannya sendiri ketika oknum dosen malah mengandalkan jasa penulis bayangan. Ia bahkan rajin menyampaikan atau menuliskan pendapat hukumnya di media massa, terkait persoalan ketidakadilan hukum ketika dosen yang lain bungkam saja.

Atas keseriusannya pada keilmiahan, akhirnya, ia jadi tak berminat pada karya fiksi. Ia menganggap puisi, cerpen, atau novel, sebagai hal yang tak berguna, terutama dalam upaya penegakan hukum yang ia cita-citakan. Karena itulah, ia tak senang jika putrinya membeli buku fiksi dan membaca hal yang tidak realistis, dan jauh dari persoalan hidup yang sesungguhnya.

Baginya, tokoh dan cerita fiksi tak sepantasnya dijadikan cerminan. Menurutnya, di dalam kehidupan nyata, masih banyak orang baik yang patut diteladani. Sebab itu, sedari dahulu ia tak bosan menceritakan kebajikan almarhum ayahnya kepada putrinya, terutama perihal kejujuran dan keberanian sang ayah dalam menegakkan keadilan, meski harus mengorbankan nyawa.

Demi mengukuhkan pandangannya soal keutamaan kisah nyata, dua malam yang lalu, ia menuliskan kisah hidup almarhum ayahnya berdasarkan cerita almarhum ibunya. Ia menuliskan tentang ayahnya yang seorang hakim, yang menolak bermain-main dengan koruptor, hingga mati terbunuh. Ia lantas mengunggahnya di akun Facebook-nya dan berharap bisa menginspirasi orang-orang untuk bersikap jujur.

Dan akhirnya, sore ini, di perpustakaan pribadinya, ia kembali berselancar di Facebook setelah menonton berita yang menjengkelkan di televisi. Ia pun menemukan komentar-komentar baru bernada pujian atas unggahannya perihal cerita hidup almarhum ayahnya. Beberapa warganet bahkan membagikannya, yang membuktikan bahwa cerita tersebut memang menyentuh. Karena itu, ia senang telah menyajikan cerita nyata yang bermanfaat, alih-alih cerita fiksi.

Sesaat kemudian, di tengah kedamaiannya, ia kembali membaca berkas-berkas pelanggaran hukum yang dilakukan para oknum penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi. Ia berniat menjadikan kasus itu sebagai fakta di dalam naskah kajian ilmiah terbarunya yang menelaah akar permasalahan, sehingga terjadi penyelewengan oleh oknum penegak hukum dalam peradilan perkara korupsi.

Hingga akhirnya, ia terperanjat setelah mendapatkan fakta yang mencengangkan di berkas putusan pengadilan yang ia cermati. Ia menemukan data diri seorang lelaki yang persis dengan data diri almarhum ayahnya. Tertulis di dalam berkas tersebut bahwa sang lelaki telah meninggal dunia di dalam bui, saat menjalani hukuman penjara karena menerima suap atas kedudukannya sebagai hakim untuk sebuah kasus korupsi.

Beberapa lama kemudian, ketika perasaannya masih kacau, putrinya datang menghampirinya dan menyinggung perihal unggahan ceritanya di Facebook.
“Ayah, banyak teman-temanku tidak percaya dengan cerita Ayah tentang kakek. Mereka menganggap cerita Ayah sebagai cerita fiksi. Kata mereka, tidak mungkin ada orang yang sejujur itu,” tutur sang putri yang merupakan mahasiswi di kampus tempatnya mengajar.
“Tetapi, cerita itu memang benar, kan, Ayah?,” Ujarnya.

Dengan serta-merta, Alim kelimpungan memberikan jawaban. Dan akhirnya, ia mengangguk saja dan menjawab sekenanya, “Yang aku dengar dari almarhumah nenekmu, memang demikian, Nak.”ucapnya.

Sang putri pun mendengkus tenang. Perasaan Alim malah makin kacau. (***)

Penulis : Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).

Berita Utama lainnya

Jangan Lewatkan