Jakarta >> Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan OJK akan terus membangun sistem perbankan yang berintegritas sebagai fundamental dalam menciptakan stabilitas perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, hal ini disampaikannya, Selasa (06/09/2022).
Sistem pengawasan yang responsif terhadap tantangan dan perubahan ekosistem keuangan global akan terus dikembangkan. Pengawasan terhadap individual bank dengan mengedepankan early warning system menjadi penekanan ke depan. Perlindungan terhadap nasabah juga merupakan prioritas dengan tetap memastikan kepastian hukum bagi perbankan dan masyarakat.
Dian menambahkan untuk hak tersebut OJK melihat kembali business process dalam regulasi, perizinan, dan pengawasan. OJK akan memberikan ruang yang cukup kepada perbankan untuk melakukan inovasi dan penyesuaian (adjustment) dalam menghadapi ekosistem yang berubah dari waktu ke waktu dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. OJK akan melakukan intervensi apabila diperlukan (creative intervention) untuk memastikan penerapan Governance Risk Compliance (GRC), integritas, dan tingkat kesehatan bank.
Sementara itu, terdapat isu-isu terkini yang memerlukan perhatian OJK dan industri perbankan serta membutuhkan respon segera antara lain pengembangan digitalisasi perbankan, UMKM, kelanjutan kebijakan restrukturisasi kredit yang targeted, penerbitan arahan untuk stimulus kredit bagi debitur terdampak Penyakit Mulut dan Kuku, serta mendorong bank dalam penerapan keuangan berkelanjutan.
OJK juga meminta perbankan untuk tidak berpuas diri (complacent) dengan pencapaian kinerja yang baik, namun harus terus waspada mengamati risiko-risiko yang terkait dengan serangan siber, kejahatan ekonomi yang semakin canggih, risiko perubahan iklim (climate related risk), perkembangan digitalisasi, geopolitical tension, dan ketidakpastian global.
Lanjutnya terkait pemenuhan modal inti minimum, OJK akan terus meminta komitmen dari pemegang saham bank untuk melakukan penambahan modal serta mendorong aksi korporasi yang dibutuhkan dalam melakukan konsolidasi perbankan.
“Mengenai arah kebijakan stimulus Covid-19 yang memberikan restrukturisasi kredit pada debitur yang terkena dampak, OJK tengah mempertimbangkan efektivitas kelanjutan kebijakan tersebut sehubungan dengan tingkat pemulihan kinerja debitur yang berbeda di setiap sektor, segmen dan wilayah. Ke depan, arah stimulus OJK diharapkan akan lebih targeted kepada sektor, segmen, maupun wilayah yang dianggap masih membutuhkan,” ungkapnya.
Hingga Juli 2022 lanjutnya kredit restrukturisasi perbankan yang terdampak Covid-19 terus bergerak melandai. Kredit yang mendapatkan relaksasi pernah mencapai titik tertingginya sebesar Rp 830,47 triliun pada Agustus 2020. Per Juli 2022, restrukturisasi kredit Covid-19 tersebut telah turun menjadi sebesar Rp560,41 triliun, menurun dibandingkan Juni 2022 yang sebesar Rp 576,17 triliun. Hal tersebut menunjukkan bahwa 40% dari kredit yang direstrukturisasi karena terdampak Covid-19 telah kembali sehat dan keluar dari program restrukturisasi.
Jumlah debitur yang mendapatkan restrukturisasi Covid-19 juga menunjukkan penurunan menjadi 2,94 juta debitur per Juli 2022. Jumlah ini pernah mencapai angka tertinggi sebesar 6,84 juta debitur pada Agustus 2020.
Secara proporsi sektoral, restrukturisasi Covid-19 per sektor terhadap total kredit per sektor yang masih di atas 20% adalah sektor akomodasi, makanan dan minuman yang mencapai 42,69% atau senilai Rp126,06 triliun. Sedangkan sektor lain yang masih terdampak adalah real estat dan sewa, sebesar 17,90% kredit sektor ini masih direstrukturisasi dengan nilai Rp51,87 triliun.
Per Juli 2022, UMKM memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pertumbuhan kredit perbankan dengan kredit UMKM tumbuh signifikan sebesar 18,08% secara tahunan, di atas pertumbuhan total kredit sebesar 10,71%. Hal tersebut membuat porsi kredit UMKM terhadap total kredit menjadi lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Total kredit UMKM per Juli 2022 mencapai Rp 1.299,4 triliun atau 21 persen dari total kredit perbankan.
Sementara mengenai kebijakan Pemerintah yang menetapkan Skema Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual, Dian menjelaskan OJK mendukung implementasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai salah satu objek jaminan utang, tentunya dengan tetap memprioritaskan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik di sektor jasa keuangan. Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan serta POJK No.42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum, bank dalam memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam hal ini, agunan hanya merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan bank dalam pemberian kredit, dan agunan yang dapat diterima sebagai jaminan kredit merupakan keputusan bank berdasarkan penilaian atas debitur atau calon debitur.
Selain itu, POJK Kualitas Aset tidak membatasi jenis agunan yang dapat diterima oleh bank secara bisnis (di luar kepentingan perhitungan PPKA). Dengan demikian, bank dapat menerima agunan berupa KI dalam pemberian kredit sepanjang bank telah meyakini kemampuan membayar debitur berdasarkan prinsip 5C.
Mengingat pentingnya penerapan prinsip kehati-hatian pada bisnis perbankan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, sebelum berlakunya PP tersebut yaitu 1 (satu) tahun sejak diundangkan, diperlukan kerjasama pemerintah, instansi terkait, dan industri untuk mempersiapkan implementasi PP Ekonomi Kreatif antara lain mengenai valuasi KI serta ketersediaan pasar dalam hal agunan KI dilikuidasi oleh bank.
Kelompok Usaha Bank (KUB)
Sementara itu, Konsolidasi PerbankanUntuk memenuhi Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum berdasarkan data posisi Juli 2022, terdapat 37 bank yang memiliki modal inti di bawah Rp3 triliun, terdiri dari 24 bank umum dan 13 BPD yang sedang dalam proses konsolidasi maupun pemenuhan modal inti minimum.
Sesuai dengan POJK tentang Konsolidasi Bank Umum, dalam pemenuhan skema konsolidasi, bagi bank yang memiliki modal inti di bawah Rp3 triliun dapat membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB) dalam hal rencana penggabungan, peleburan, atau integrasi bank.
Saat ini, seluruh bank umum telah menyampaikan rencana tindak pemenuhan modal inti minimum melalui Rencana Bisnis Bank. Sesuai skema konsolidasi sebagaimana diatur pada POJK KUB, terdapat lima skema konsolidasi bagi Bank Umum dengan modal inti kurang dari Rp3 triliun, yaitu:
Penggabungan, Peleburan atau Integrasi (P/P/I)
Pengambilalihan yang diikuti P/P/I.
Adapun Pembentukan KUB terhadap bank yang telah dimiliki Pembentukan KUB karena Pemisahan (spin off) UUS Pembentukan KUB karena Pengambilalihan Kebijakan Stimulus Penyakit Mulut dan Kuku.
Sehubungan dengan merebaknya wabah penyakit mulut dan kuku pada hewan ternak yang semakin meluas dan untuk mendukung kebijakan program Ketahanan Pangan Nasional, menopang perekonomian agar tetap tumbuh, dan menjaga sektor perbankan agar tetap stabil, diperlukan kebijakan countercyclical untuk meredam dampak penurunan kinerja debitur terdampak penyakit mulut dan kuku pada industri perbankan.
Untuk itu OJK telah melakukan pembahasan baik di internal OJK maupun dengan asosiasi perbankan untuk mendukung peternak dan sektor terdampak (sektor pembibitan dan budidaya sapi potong; sektor pembibitan dan budidaya ternak perah; sektor kombinasi pertanian atau perkebunan dengan peternakan (mixed farming); serta sektor jasa pertanian, perkebunan dan peternakan).
OJK juga telah mengeluarkan surat edaran kepada industri perbankan terkait kebijakan relaksasi sebagai dukungan OJK dan industri perbankan terhadap keadaan tertentu darurat penyakit mulut dan kuku dengan pokok-pokok sebagai berikut:
Kebijakan berlaku bagi Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Bank dapat menerapkan kebijakan dan skema retsrukturisasi yang mendukung debitur terkena dampak wabah PMK antara lain peternak dan pelaku bisnis pada industri pengolahan terkait dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Debitur yang layak mendapatkan relaksasi merupakan debitur yang selama ini berkinerja baik namun menurun kinerjanya karena terdampak wabah PMK.
Implementasi relaksasi bagi debitur yang terdampak PMK tersebut secara umum diperlakukan serupa dengan kebijakan stimulus berdasarkan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah terakhir dengan POJK Nomor 17/POJK.03/2021, dengan pokok-pokok sebagai berikut:
Penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga/margin/bagi hasil/ujrah untuk kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain dengan plafon sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Kualitas kredit/pembiayaan dapat ditetapkan lancar setelah direstrukturisasi selama masa berlakunya kebijakan. Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan Bank tanpa melihat batasan plafon kredit/pembiayaan atau jenis debitur.
Jangka waktu restrukturisasi dapat melebihi masa berlakunya kebijakan ini dan tetap dapat ditetapkan lancar tanpa tambahan CKPN sepanjang debitur tetap dapat memenuhi perjanjian restrukturisasi yang disepakati dengan bank hingga berakhirnya masa restrukturisasi yang diperjanjikan tersebut.
Bank dapat memberikan kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain yang baru kepada debitur yang telah memperoleh perlakuan khusus sesuai kebijakan ini dengan penetapan kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain tersebut dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain sebelumnya.
Masa berlakunya kebijakan ini mengikuti pemberlakuan Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengenai penetapan status keadaan tertentu darurat penyakit mulut dan kuku, dan dapat dievaluasi kembali selama kurun waktu berlakunya relaksasi ini. Setelah masa relaksasi, penilaian kualitas aset kembali mengacu ke ketentuan OJK yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset. (***)